Aliran-Aliran Dalam Keluarga


Pada umumnya masyarakat menggunakan keluarga untuk menetapkan pola pemilihan pasangan, garis keturunan, warisan, dan wewenang yang dimilikinya (Henslin, 2006:117). Selanjutnya, pola hubungan dalam dan antar anggota keluarga memiliki konsekwensi dalam melahirkan sistem keluarga. Pola hubungan antara anak dengan ayahnya anak  atau ibunya anak merupakan tema besar dalam sistem keturunan (system of descent) yang kemudian menghasilkan tiga pola garis keturunan yang dianut pada masyarakat yaitu billateral system, patrilineal system, dan matrilineal system. Menurut Hanslin, bagi mereka yang memiliki hubungan baik dengan keluarga ayah dan keluarga ibu, akan menganut sistem bilateral. Namun mereka yang memilih tidak berhubungan dengan kerabat ibunya, jelas mereka memiliih sistem patrilineal. Selanjutnya bagi mereka yang tidak memiliki hubungan dengan kerabat ayahnya, mereka tergolong dalam sistem matrilineal.

Setiap sistem keluarga cenderung memiliki pranata-pranata unik dalam kesehariannya. Pranata-pranata unik itu dapat dilihat pada pola pemilihan pasangan, garis keturunan, warisan, dan wewenang yang dimilikinya. Wewenang merupakan elemen yang berperan paling dominan dalam suatu keluarga. Tiap-tiap sistem keturunan memiliki pola kewenangan yang berbeda, mulai dari bentuk patriarkhi, matriarkhi, hingga bentuk egaliter. Suatu sistem keluarga yang dikendalikan oleh laki-laki yang lebih mendominasi perempuan cenderung akan membentuk sistem patrilineal. Begitu sebaliknya, wewenang perempuan yang mendominasi laki-laki dalam urusan keluarga akan melahirkan sistem matrilineal. Selanjutnya suatu tatanan dalam keluarga, dimana perempuan dan laki-laki dalam wewenang setara, akan membentuk sistem egalitarian.

Teori utama patriarkhi (patriarchy), laki-laki yang mendominasi masyarakat menekankan konsekuensi sosial tertuju pada reproduksi manusia (Lerner 1986; Friedl 1990; Henslin 2006:50). Pada awal sejarah manusia, rentang usia manusia diyakini relatif singkat. Untuk itu dalam melipat-gandakan manusia, perempuan harus melahirkan banyak anak. Pada masyarakat yang menganut sistem patrialkhal, setiap keluarga cenderung berorientasi melahirkan anak sebanyak-banyaknya. Tujuan melahirkan banyak anak adalah jika anaknya ada yang meninggal, masih ada anaknya yang hidup hingga melanjutkan kehidupan nama besar orangtuanya. Apalagi secara kodratiah (bukan teknologi) hanya kaum perempuan yang bisa hamil, maka tugas perempuan saat itu hanyalah hamil dan mengasuh anak hingga dewasa.

Perihal rentang usia manusia yang relatif singkat, hal senada juga disampaikan Carey (2012) tentang banyaknya anak pada keluarga Jawa di abad 18. Menurut Carey, rentang usia manusia relatif singkat dikarenakan gagalnya manusia dalam menghindari penyakit mematikan. Namun dalam catatan Carey, tidak memasukkan ancaman mahluk buas, bencana alam, dan tradisi bercocok tanam, menjadi penentu waktu hidup dikemudian. Dari beberapa literatur melaporkan, ancaman mahluk buas,  bencana alam, dan tradisi bercocok tanam telah diyakini memiliki dampak besar keberadaan manusia di semesta alam.

Sistem patrilineal yang berorientasi keluarga luas ini kemudian melahirkan konsekwensi laki-laki bertugas berburu binatang sekaligus menyelesaikan tugas-tugas besar agar keluarganya selamat (Huber, 1990 dalam Henslin 2006:50) dan meninggal dengan cara yang wajar. Pada saat itulah laki-laki sebagai pengendali tumpukan kepemilikan sehingga laki-laki menjadi simbol kejayaan dan industri prestise (keistimewaan sosial) dan previlace (hak-hak sosial yang istimewa) yang kemudian melahirkan sebuah sistem sosial patrialkhal, dimana perempuan dipaksa tunduk menduduki kelas sosial kedua setelah mahluk berjakun besar.

Dalam perkembangannya, laki-laki semakin berorientasi menjadi pemimpin kelompok besar. Besaran anggota kelompok yang dipimpin dan penguasaan wilayah tanpa batas, merupakan indikator kekuasaan politik patrilineal. Pada saat itulah para perempuan memiliki tugas utama yaitu hamil, melahirkan, dan mengasuh anak-anak hingga besar. Dengan demikian maka banyak anak adalah sesuatu yang masuk akal. Pada saat itulah keibuan merupakan status sosial yang perlahan diperhitungkan. Apalagi anak merupakan cikal bakal investasi ekonomi, dan juga anak telah dipandang sebagai berkat Tuhan. Pandangan inilah kemudian mengantarkan terbentukya sistem masyarakat matrilineal.

Babak selanjutnya adalah peran perempuan semakin disadari sangat penting dalam dinamika sistem patrilineal. Semakin banyak anak yang dikandung seorang perempuan, semakin ia dipandang telah mencapai tujuan mengapa mereka dilahirkan (Henslin, 2006:189). Tentu saja pernikahan lebih awal menjadi solusi paling wajar, karena lebih cepat menikah, maka akan lebih cepat menurunkan keturunan. Sejalan dengan ini, suatu pasangan harus mempunyai banyak anak. Dengan menghasilkan banyak anak, setiap orang telah menjadi cermin dari nilai-nilai komunitas yang mereka pegang dan meraih status. Pandangan inilah kemudian mengantarkan terbentukya sistem masyarakat matrilineal. Walaupun demikian, posisi perempuan yang mandul tetap tidak memiliki kemuliaan. Karena di era awal sistem matrilineal masih diyakini bahwa kemandulan itu milik perempuan. Selain itu juga, hal mendasar yang mendongkrak kemuliaan perempuan adalah kuantitas peranakan yang dihasilkan, dalam rangka mensuplai jumlah anggota kelompok yang sebanding lurus dengan wewenang penguasaan wilayah yang menjanjikan kemakmuran sosial.

Pada masyarakat yang menganut pola matrilineal, anak-anak merupakan investasi ekonomi. Anak-anak mulai menyumbangkan ekonomi dimulai sejak usia dini. Bila orang tua telah menjadi terlalu tua untuk bekerja atau tidak memiliki pekerjaan, anak-anak mereka akan berganti mengurus mereka. Semakin banyak anak maka semakin besar dukungan yang akan mereka terima. Pandangan inilah yang kemudian sejajar dengan pandangan banyak anak banyak rejeki. Hal inilah yang kemudian mendorong alasan kenapa keluarga yang tidak mampu malah menghidupi banyak anak. Karena pada masa tuanya, ada jaminan tanggungan anak-anaknya kepada orang tuanya.

Selanjutnya, sistem keluarga berikutnya adalah egaliter. Pada sistem ini, Hildred Geertz (1985) memberi contoh betapa kuatnya peranan istri terutama dalam hal mengelola ekonomi. Suami dan isteri bersama-sama dalam mengelola unit ekonomi. Mereka tidak hanya saling yang berurusan bukan saja dengan proses dan distribusi barang-barang konsumsi tetapi juga dengan produksi barang-barang atau jasa bagi pendapatan untuk keluarga dan kelompok. Keikutsertaan istri di segala segi usaha ekonomi memberikan kepadanya kedudukan yang sama kuat dengan suaminya.

Konsep keluarga egaliter itu kemudian merambah pada konsep pernikahan. Perkawinan kemudian dipandang sebagai suatu proses pertukaran antara hak dan kewajiban serta “Penghargaan dan Kehilangan” yang terjadi di antara sepasang suami istri  (Ihromi, 2004:137). Hal senada juga disampaikan Bernard (1972, dalam Santrock, 1995) bahwa tidak sekedar digambarkan sebagai bersatunya dua individu. Karena perkawinan merupakan proses integrasi dua individu yang memiliki latar belakang sosial-budaya, keinginan serta kebutuhan mereka yang berbeda (Parson, dalam Ihromi, 2004), maka proses pertukaran dalam perkawinan ini harus senantiasa dirundingkan serta disepakati bersama. Pernikahan merupakan persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang baru. Hal inilah yang mendorong beberapa ahli pernikahan dan keluarga percaya bahwa pernikahan telah mencerminkan fenomena yang berbeda-beda bagi perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, wajar ketika pola pernikahan dalam masyarakat berbeda, memisahkan pembahasan saat mencerminkan antara pola pernikahan laki-laki dan pernikahan pada perempuan.

Namun konsep perkawinan sebagai proses pertukaran ini, berbeda dengan konsep perkawinan kita. Pranata perkawinan kita hanya menekankan pertukaran pada dua insane manusia saja. Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1 bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara “seorang pria dengan seorang wanita” sebagai suami istri saja, bukan menekankan pada proses integrasi dua individu yang memiliki latar belakang sosial-budaya, keinginan serta kebutuhan mereka yang berbeda.

Konsekwensi dari konsep pranata perkawinan Nomor 1/1974, bab I, pasal 1 ini, jelas hanya pada pencukupan kebutuhan kasih sayang saja. Sehingga keluarga tidak menjadi dimensi yang memiliki kekuatan dalam mengitegrasikan beragam perbedaan yang ada. Secara konseptual, pranata perkawinan kita cenderung rentan terhadap masalah sosial yang ada. Hal ini terbukti terjadi harapan jauh api dari panggang ketika masa orde baru menaruh amalgamasi (perkawinan lintas etnis) menjadi kebijakan dalam negeri yang gagal untuk menyelesaikan konflik pribumi dan non-pribumi kala itu.
 
Sumber Rujukan: 

Carey. 2013. Ramalan Penguasa (Jilid II). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa. Jakarta. PT. Temprint.
Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi: Edisi 6. Penerj: Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembang: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi kelima). Alih Bahasa: Istiwiyanti, Soedjarwo, Sijabat R.M. Jakarta: Erlangga
Ihromi, T. O. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1 tentang Konsep Pranata Perkawinan 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Aliran-Aliran Dalam Keluarga"

Posting Komentar